Sunday, 6 November 2011

Kesetiakawanan


Ilmu Sosial Dasar (Kesetiakawanan Sosial)

Empat pengertian menegenai arti dari kesetiakawanan sosial

1. Menurut pandangan pribadi, ‘kesetiakawanan sosial’ merupakan suatu komitmen untuk saling berpegang teguh, taat, dan patuh untuk melaksanakan apapun yang menjadi suatu tanggung jawab diri sendiri yang terbentuk dari setiap individu khususnya individu yang berada dalam satu kelompok atau organisasi yang didalamnya banyak terdapat individu lainnya.

Kesetiakawanan menjadi benteng yang kuat dan pula lemah dalam suatu kelompok. Saat kesetiakawanan ini begitu rekatnya, maka kelompok tersebut akan menjadi sebuah satu kesatuan yang aman dan amat solid. Apapun isu yang menerpa kelompok tersebut dengan sikap memiliki rasa saling ber-kesetiakawanan maka kelompok ini tidak akan jatuh ataupun bubar. Kesetiakawanan merupakan hal baik yang akan sangat baik diterapkan pula dengan rasa kekeluargaan dengan begitu kesetiakawanan sosial akan sangat terasa dampak positifnya dengan satu sama lainnya khususnya dalam kelompok bersama-sama. Namun, saat kesetiakawanan ini diuji namun kesetiakawanan ini tidak baik diterapkan maka satu kelompok, kelompok sosial khususnya akan menimbulkan dampak negatif, permusuhan bahkan peperangan internal.

Di dalam fenomena ditengah-tengah masyarakat biasanya, penerapan rasa kesetiakawanan sosial ini dapat dilihat saat satu daerah misal, terkena musibah bencana alam. Maka, dengan memiliki rasa saling ber-kesetiakawanan, masyarakat yang tinggal diluar daerah bencana akan terdorong untuk saling membantu masyarakat yang terkena musibah tersebut. Dengan kesetiakawan soial ini masyarakat bahu-membahu membantu orang-orang yang sedang dilanda kesulitan. Dengan begitu secara langsung sikap kesetiakawanan sosial ini menimbulkan pembentukan satu pribadi positif lagi untuk satu pribadi, yakni rasa rela berkorban.

Jadi dapat disimpulkan dilihat dari dua sisi berbeda diatas, satu kesetiakawanan sosial dalam pribadi individu dalam kelompok dan dua kesetiakawanan sosial dalam masyarakat, keduanya mengambil makna bila kesetiakawanan sosial tiap dalam diri sendiri adalah rasa saling melindungi dangan rasa setia untuk melakukan satu hal yang dapat memberikan suatu rasa saling menguatkan diantara sesama dengan berkomitmen agar tidak terjadi sikap negatif yang berbahaya seperti pengkhianatan dan permusuhan serta sikap saling bodo amat.



2. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘kesetiakawanan sosial’ terdiri dalam beberapa bentukan kata yang artinya dapat kita ambil satu persatu yang saling memiliki arti yang berkaitan, kemudian dapat kita simpulkan menjadi arti dari ‘kesetiakawanan sosial’ itu sendiri.

Bila kita pecah secara ilmu perbahasaan kata ‘kesetiakawanan’ terdiri dari dua affiksasi dan dua kata dasar. Yaitu, konfik dari ke–an dan kata dasar setia dan kawan. Dapat diperoleh arti dari kesetiakawanan sosial tersebut. Namun terlebih dahulu memisahkan kata setia dan kawan untuk diartikan satu-persatu. Pertama diartikan kata setia. Bila ditambah affiksasi tadi (ke-an), maka kata setia berubah menjadi kata diversifikasi ‘kesetiaan’. Arti dari kata setia dalam KBBI adalah patuh;taat. Tetap;teguh hati dan Berpegang teguh. Dan bila ditambah konfik ke-an maka kata tersebut berubah menjadi kata kesetiaan namun tetap bentukan kata sifat. Arti dari diversifikasi kata kesetiaan dalam KBBI adalah keteguhan hati;ketaatan;kepatuhan. Belum selesai sampai disini, kata kesetiaan ini selanjutnya disisipkan kata dasar ‘kawan’, maka terbentuklah kata gabungan diversifikasi ‘kesetiakawanan’ . Namun, dapat diartikan terlebih dahulu kata dasar kawan. Didalam KBBI, arti kawan adalah teman;sahabat;pengikut;sekutu;orang ramah dsb. Kata kawan ini ditambah dengan akhiran –an, menjadi kata baru yakni, kawanan yang berarti sekumpulan. Jadi kata kesetiakawanan didalam KBBI memiliki arti dari beberapa gabungan kata dan afiksasi tersebut, kesetiakawanan diartikan, perihal setia kawan. Setia kawan itu sendiri memiliki arti perasaan bersatu; sependapat dan sekepentingan dan solider. Jadi ditarik kesimpulan bila kesetiakawanan adalah suatu sikap yang saling merasa bersatu berpegang teguh (komitmen) untuk berkawan/bersahabat.

Terakhir, kata kesetiakawanan ditambahkan dengan kata dasar sosial. Sosial dalam KBBI memiliki arti, berkenaan dengan masyarakat. Jadi dari kata kesetiakawanan yang berarti suatu sikap yang saling merasa bersatu berpegang teguh (komitmen) untuk berkawan/bersahabat dan sosial yang memiliki arti berkenaan dengan masyarakat, maka ‘kesetiakawanan sosial’ adalah suatu Perasaan bersatu, sependapat dan sekepentingan (solider) yang sangat taat (berkomitmen) untuk berkawan/bersahabat didalam hubungannya hidup berdampingan didalam masyarakat luas dengan saling rasa membutuhkan (Gresgariosness). Kesetikawanan sosial disebut juga dengan kata solider, yang tetap saja memilki arti yang sama, yakni saling isi antar sesama khususnya didalam sebuah kelompok. Untuk itu sikap kesetiakawanan ini sangat baik sekali diterapkan di masyarakat sehingga timbul kata Kesetiakawanan Sosial.





3. Kesetiakawanan sosial dalam Islam
Perbincangan seputar kesetiakawanan atau yang juga dikenal dalam bahasa Inggris dengan sebutan solidarity, hingga kini menjadi sebuah diskusi yang masih menarik, dan ditengarai akan selalu menarik perhatian setiap anggota masyarakat, karena artipentingnya pranata sosial ini sebagai pilar penyangga bangunan harmoni sosial, di mana pun kapan pun dan bagi siapa pun
Memang tidak mudah untuk mendefinisikan makna kesetiakawanan sosial dalam konteks yang beragam. Tetapi, untuk sekadar memetakan pengertian esensialnya, kesetiakawanan adalah sebuah pranata sosial yang di dalamnya terkandung ciri-ciri penting, yaitu: kepedulian, rasa sepenanggungan, kasih sayang, kebersamaan dan ketulusan.
Sejumlah tantangan kompleks yang muncul, termasuk potensi konflik yang ditimbulkan oleh dorongan ego setiap manusia, yang pada saatnya bisa menjebak mereka menjadi manusia-manusia yang tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, karena menganggap yang terpenting adalah dirinya. Sedang orang lain baru dianggap (menjadi) penting karena berpotensi “menguntungkan” bagi dirinya. Oleh karena itu, untuk membangun kesetiakawanan sosial, setiap orang, sebagai anggota mansyarakat, dituntut untuk memiliki kepedulian dan ketenggangrasaan terhadap orang lain, dan bahkan menganggap orang lain sebagai entitas yang penting, sepenting dirinya.
Dalam merespon wacana kesetiakawanan (sosial) tersebut, kita (umat Islam) bisa mengajak dialog dengan al-Quran, sebagaimana nasihat Ali bin Abi Thalib terhadap para sahabatnya: istanthiq al-Quran, yang ternyata menurut M. Quraish Shihab – dalam bukunya yang berjudul “Wawasan al-Quran”, tersirat dalam gagasan “ukhuwwah”.
Kajian mengenai ukhuwah (Ar.: Ukhuwwah), dalam pandangan M. Quraish Shihab, dewasa ini menjadi dianggap memiliki arti penting, karena adanya fenomena yang sangat meresahkan: sinyal-sinyal menuju “disintegrasi sosial”. Banyak orang mempertanyakan: “sejauhmana peran Islam di dalamnya?” Di sini, Islam menawarkan gagasan “ukhuwah Islamiyah”. Bukan sekadar penjelasan normatif, tetapi sampai pada solusi atas problem sosial yang sudah pernah, sedang dan akan dialami oleh umat manusia secara kongkret.
Kata Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai “persaudaraan”, terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan”. Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.
Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya ukhuwah diartikan sebagai “setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu,
bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”. Secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwwah digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
Ukhuwah Islamiyah, dalam pandangan M. Quraish Shihab, lebih tepat dimaknai sebagai ukhuwah yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam. Telah dikemukakan pula beberapa ayat yang mengisyaratkan bentuk atau jenis “persaudaraan” yang disinggung oleh al-Quran. Semuanya dapat disimpulkan bahwa kitab suci ini memperkenalkan paling tidak empat macam persaudaraan: (1) Ukhuwwah ‘ubûdiyyah atau saudara kesemakhlukan dan kesetundukan kepada Allah. (2) Ukhuwwah insâniyyah (basyariyyah) dalam arti seluruh umat manusia adalah bersaudara, karena mereka semua berasal dari seorang ayah dan ibu. (3) Ukhuwwah wathaniyyah wa an-nasab, yaitu persaudaraan dalam keturunan dan kebangsaan. (4) Ukhuwwah fi dîn al-Islâm, persaudaraan antarsesama Muslim.
(Oleh, Muhsin Hariyanto (http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/?p=636)))

4. Kesetiakawanan Sosial atau rasa solidaritas sosial adalah merupakan (sic) potensi spritual, komitmen bersama sekaligus jati diri bangsa oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nurani bangsa Indonesia yang tereplikasi dari sikap dan perilaku yang dilandasi oleh pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai dengan kemampuan dari masing-masing warga masyarakat dengan semangat kebersamaan, kerelaan untuk berkorban demi sesama, kegotongroyongan dalam kebersamaan dan kekeluargaan.
Oleh karena itu Kesetiakawanan Sosial merupakan Nilai Dasar Kesejahteraan Sosial, modal sosial (Social Capital) yang ada dalam masyarakat terus digali, dikembangkan dan didayagunakan dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk bernegara yaitu Masyarakat Sejahtera.

Sebagai nilai dasar kesejahteraan sosial, kesetiakawanan sosial harus terus direvitalisasi sesuai dengan kondisi aktual bangsa dan diimplementasikan dalam wujud nyata dalam kehidupan kita.
Kesetiakawanan sosial merupakan nilai yang bermakna bagi setiap bangsa. Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial dalam kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia pada hakekatnya telah ada sejak jaman nenek moyang kita jauh sebelum negara ini berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka yang kemudian dikenal sebagai bangsa Indonesia.

Jiwa dan semangat kesetiakawanan sosial tersebut dalam perjalanan kehidupan bangsa kita telah teruji dalam berbagai peristiwa sejarah, dengan puncak manifestasinya terwujud dalam tindak dan sikap berdasarkan rasa kebersamaan dari seluruh bangsa Indonesia pada saat menghadapi ancaman dari penjajah yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa.
Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan berkat semangat kesetiakawanan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, semangat
kesetiakawanan sosial harus senantiasa ditanamkan, ditingkatkan dan dikukuhkan melalui berbagai kegiatan termasuk peringatan HKSN setiap tahunnya.
HKSN yang kita peringati merupakan ungkapan rasa syukur dan hormat atas keberhasilan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dalam menghadapi berbagai ancaman bangsa lain yang ingin menjajah kembali bangsa kita. Peringatan HKSN yang kita laksanakan setiap tanggal 20 Desember juga merupakan upaya untuk mengenang kembali, menghayati dan meneladani semangat nilai persatuan dan kesatuan, nilai kegotong-royongan, nilai kebersamaan, dan nilai kekeluargaan seluruh rakyat Indonesia dalam merebut kemerdekaan.
Saat ini kita tidak lagi melakukan perjuangan secara fisik untuk mengusir penjajah, namun yang kita hadapi sekarang adalah peperangan menghadapi berbagai permasalahan sosial yang menimpa bangsa Indonesia seperti kemiskinan, keterlantaran, kesenjangan sosial, konflik SARA di beberapa daerah, bencana alam (gempa bumi, gunung meletus, tsunami, kekeringan, dll), serta ketidakadilan dan masalah-masalah lainnya.

Sesuai tuntutan saat ini, dengan memperhatikan potensi dan kemampuan bangsa kita, maka peringatan HKSN ini yang merupakan pengejewantahan dari realisasi konkrit semangat kesetiakawanan sosial masyarakat. Dengan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai dukungan dan peran aktif dari seluruh komponen/elemen bangsa, bukan hanya tanggungjawab pemerintah saja melainkan tanggung jawab bersama secara kolektif seluruh masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, makna nilai kesetiakawanan sosial sebagai sikap dan perilaku masyarakat dikaitkan dengan peringatan HKSN ditujukan pada upaya membantu dan memecahkan berbagai permasalahan sosial bangsa dengan cara mendayagunakan peran aktif masyarakat secara luas, terorganisir dan berkelanjutan. Dengan demikian kesetiakawanan sosial masih akan tumbuh dan melekat dalam diri bangsa Indonesia yang dilandasi oleh nilai-nilai kemerdekaan, nilai kepahlawanan dan nilai-nilai kesetiakawanan itu sendiri dalam wawasan kebangsaan mewujudkan kebersamaan : hidup sejahtera, mati masuk surga, bersama membangun bangsa.

(Oleh, Najmudin.cianjur (http://najmudincianjur.blogspot.com/2009/10/arti-dan-makna-kesetiakawanan-sosial.htm)))
Dari keseluruhan penjelasan mengenai arti dan makna tentang Kesetiakawanan Sosial diatas tersebut, kesemuanya mengartikan bila kesetiakawanan sosial adalah suatu sikap bentukan yang datangnya dari hati nurani sendiri dari setiap diri dalam individu-individu manusia dalam hidup bermasyarakat bersaudara untuk berpegang teguh (komitmen), taat, patuh untuk melakukan tindakan hal baik yang mementingkan kawan/saudara sesama dangan dasar saling menyayangi dan mengasihi antar sesama manusia serta saling sepenanggungan sama kepentingan juga saling membutuhkan (gresgariosness).

Kesetiakawanan sosial sama arti dengan solider sosial. Kata solider kerap kali kita dengar di masyarakat umumya dalam suatu kelompok atau organisasi. Kesetiakawanan sosial ini memang sangat berat amanahnya, namun bila dilakukan sesuai amanah maka hal ini menjadi suatu hal yang sangat luar biasa hebatnya baiknya yang terjadi dimasyarakat yang lebih tersratifikasi saat ini. dengan adanya rasa kesetiakawanan sosial ini msyarakat akan hidup dalam keharmonisan dan kedamaian. Tidak ada sikap saling acuh tak acuh dalam masyarakat sehingga menimbulkan rasa tidak peduli antar sesama. Karena lumrahnya setiap manusia sebagai makhluk sosial, kerap sekali mereka membutuhkan bantuan dan kasih saying dari orang lain. Apalagi didalam keluarga. Kesetiakawanan diiringi pula dengan dasar kekeluargaan, maka akan menjadi hal yang sangat luar biasa dampak kebaikannya dari hal tersebut. Inilah hal dan sikap yang diperlukan oleh masyarakat saat ini serta menjadi kebutuhan rohaniah yang sangat necessary bagi kelangsungan hidup bermasyarakat oleh manusia.

Kesetiakawanan terkikis zaman

Gagasan kesetiakawanan berawal dari solidaritas kerakyatan dan kebangsaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Solidaritas muncul karena kesamaan nasib (sejarah), kesamaan wilayah (teritorial), kesamaan kultural, dan bahasa. Menurut Ernest Renan [1823-1892], semua itu merupakan modal untuk membentuk nation. Kesadaran kebangsaan memuncak seiring deklarasi Sumpah Pemuda 1928. Sebuah semangat mengubah ”keakuan” menjadi ”kekamian” menuju ”kekitaan”.
Selanjutnya, kesetiakawanan sosial nasional tumbuh kuat karena faktor penjajahan. Dalam hal ini, kesetiakawanan mengejawantah dalam perjuangan mengusir penjajahan, baik masa prakemerdekaan maupun pascakemerdekaan. HKSN sendiri bermula dari semangat solidaritas nasional antara TNI dan rakyat dalam mengusir Belanda yang kembali pada 19 Desember 1948. Akhirnya kebersamaan yang dilandasi semangat rela berkorban dan mengutamakan kepentingan bangsa menjadi senjata ampuh untuk memerdekakan bangsa.
Namun, fakta lain menunjukkan, nilai-nilai kesetiakawanan kian terkikis. Saat ini solidaritas itu hanya muncul di ruang politik dengan semangat membela kepentingan masing-masing golongan. Menguat pula solidaritas kedaerahan yang mewujud dalam komunalisme dan tribalisme. Di bidang ekonomi, nilai solidaritas belum menjadi kesadaran nasional, baik di level struktural, institusional, maupun personal.
Menguatnya kesenjangan di berbagai ruang publik merupakan indikator melemahnya kesetiakawanan sosial. Basis-basis perekonomian dikuasai segelintir orang yang memiliki berbagai akses. Juga terjadi kesenjangan antarwilayah, antara pusat dan daerah, antarpulau, antaretnik, dan antargolongan.
Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah (2006), ada tiga hal yang menggerus nilai kesetiakawanan sosial. Pertama, menguatnya semangat individualis karena globalisasi. Gelombang globalisasi dengan paradigma kebebasan, langsung atau tidak, berdampak pada lunturnya nilai-nilai kultural masyarakat.
Kedua, menguatnya identitas komunal dan kedaerahan. Akibatnya, semangat kedaerahan dan komunal lebih dominan daripada nasionalisme.
Ketiga, lemahnya otoritas kepemimpinan. Hal ini terkait keteladanan para kepemimpinan yang kian memudar. Terkikisnya nilai kesetiakawanan menimbulkan ketidakpercayaan sosial, baik antara masyarakat dan pemerintah maupun antara masyarakat dan masyarakat, karena terpecah dalam aneka golongan.

Menemukan kembali kesetiakawanan

Dalam perjalanan sejarah, kita memerlukan momentum untuk membangkitkan semangat dan daya implementasi baru. Di tengah krisis finansial global, mungkin sudah saatnya menemukan kembali nilai-nilai kesetiakawanan sosial guna menjawab aneka masalah kebangsaan.
Saatnya kita menumbuhkan apa yang disebut Komaruddin Hidayat (2008) grand solidarity untuk kemudian diaplikasi ke dalam grand reality. Grand solidarity adalah rasa kebersamaan untuk membangun bangsa, yang didasarkan atas spirit, tekad, dan visi yang diajarkan founding father’s. Adapun grand reality adalah upaya untuk mengaplikasi masa lalu ke konteks masa kini. Pada level praksis, program-program pembangunan harus dilandasi semangat kesetiakawanan yang diwujudkan dalam bentuk pemberdayaan. Pemerintah wajib memberi umpan (akses permodalan), memandu bagaimana cara memancing (akses SDM), menunjukkan di mana memancingnya (akses teknologi dan informasi), serta menunjukkan di mana menjual ikannya (akses market).
Di tingkat masyarakat, dapat ditradisikan satu orang kaya yang tinggal di permukiman miskin membantu orang miskin. Inilah yang disebut kepedulian sosial. Jika hal ini dilakukan secara simultan, akan tercipta keharmonisan di tingkat negara maupun kehidupan masyarakat.
Maka, inilah saatnya kita menemukan kembali solidaritas sosial nasional dan jati diri bangsa. Kita harus menumbuhkan semangat kebersamaan dan kepedulian dalam menghadapi tantangan kebangsaan.

sumber: http://aryaforbaskorolife.blogspot.com/2010/11/ilmu-sosial-dasar-kesetiakawanan-sosial.html, http://psaefaki.blogspot.com/2010/11/arti-dan-makna-kesetiakawanan-sosial.html
 

Komisi Pemberantasan Korupsi


Komisi Pemberantasan Korupsi 
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Saat ini KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK ditolak oleh DPR. Pada 25 November, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
* Sejarah lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia
Orde Lama
Kabinet Djuanda
Di masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pemberantasan korupsi. Yang pertama, dengan perangkat aturan Undang-Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani. Kepada Paran inilah semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
 
Operasi Budhi
Pada 1963, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, pemerintah menunjuk lagi A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan/Kasab, dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo dengan lembaga baru yang lebih dikenal dengan Operasi Budhi. Kali ini dengan tugas yang lebih berat, yakni menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktek korupsi dan kolusi.
Lagi-lagi alasan politis menyebabkan kemandekan, seperti Direktur Utama Pertamina yang tugas ke luar negeri dan direksi lainnya menolak karena belum ada surat tugas dari atasan, menjadi penghalang efektivitas lembaga ini. Operasi ini juga berakhir, meski berhasil menyelamatkan keuangan negara kurang-lebih Rp 11 miliar. Operasi Budhi ini dihentikan dengan pengumuman pembubarannya oleh Soebandrio kemudian diganti menjadi Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Bohari pada tahun 2001 mencatatkan bahwa seiring dengan lahirnya lembaga ini, pemberantasan korupsi di masa Orde Lama pun kembali masuk ke jalur lambat, bahkan macet.
Orde Baru
Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain.
Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib (Opstib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.
Era Reformasi
Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun, di tengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke UU Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.
* Regulasi
Dasar hukum KPK
  • UU RI nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  • Kepres RI No. 73 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  • PP RI No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang
  • UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN
  • UU RI No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  • UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  • UU RI No. 25 Tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Peraturan Pemerintah
  • PP RI No. 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  • PP RI No. 109 Tahun 109 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
* 10 Fakta tentang KPK

1) KPK disahkan oleh DPR pada tanggal 19 Desember 2003 pada Era pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri.

2) KPK sebenarnya merupakan "Anak yang tidak diinginkan" karena pembentukan KPK itu sendiri hanya sekedar formalitas pada awalnya. Namun ternyata KPK menjelma menjadi sebuah lembaga yang memiliki Taring untuk memberantas para Koruptor di Indonesia.

3) KPK saat ini memiliki Jumlah Pegawai 655 orang dengan unsur penindakan hanya 185 orang, untuk melayani sekitar 230 juta penduduk Indonesia.

4) KPK terdiri atas Gabungan seluruh unsur masyarakat mulai dari Profesional, pengacara, bankir, auditor, kepolisian, kejaksaan, LSM, Wartawan, dsb. Yang membuat mereka Tidak memiliki kepentingan tertentu atau Ego sektoral.

5) Total Jumlah pengaduan yang masuk sampai dengan Juni 2009 adalah 30.000 pengaduan. Bayangin gak sih hampir semua perkara korupsi Bertumpu pada KPK karena dipercaya? (http://www.kpk.go.id/modules/news/ar...p?storyid=3214)

6) Belum pernah ada Perkara Korupsi yang masuk ke KPK dihentikan (karena aturan memang tidak membolehkan kecuali TSK meninggal). Dan belum pernah ada Perkara yang ditangani KPK di Vonis Bebas oleh Pengadilan Tipikor.

7) KPK pernah menangani perkara yang melibatkan personilnya sendiri yaitu AKP. Suparman dan perkara Luar yaitu Jaksa Urip, sehingga kredibilitasnya diakui oleh Dunia Internasional.

8) Lembaga Penanganan Korupsi di Luar negeri khususnya Asia beramai-ramai melakukan studi banding dan belajar dari KPK atas pencapaiannya yang sangat luar biasa terutama saat menangkap pejabat negara mulai DPR sampai dengan Besannya Presiden. Hal itu menjadikan Indonesia naik derajatnya di Mata Internasional dan memperbaiki Iklim Investasi.

9) Belum pernah ada lembaga yang memiliki pencapaian penanganan korupsi yang sistematis seperti KPK dibanding lembaga penegak hukum lainnya dalam kurun waktu yang sangat singkat, dengan pengembalian kerugian negara pada semester satu Tahun 2009 adalah 4 Triliun Rupiah dengan hanya menggunakan Anggaran negara oleh KPK sebanyak 50 Milyar. (http://www.tvone.co.id/berita/view/1..._rp_4_triliun/)

10) KPK dicintai oleh Seluruh rakyat Indonesia (Kecuali koruptor) dengan bukti mereka berada dibelakang KPK saat KPK diberondong dan dilemahkan dengan kriminalisasi kewenangan KPK yang sangat Absurd, dan menjamurnya gerakan-gerakan baik secara Riil di lapangan maupun di dunia maya seperti Gerakan 1.000.000 dukung Chandra Hamzah dan Bibid Samad Rianto.
Sumber:
id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi
artikel-lounge.blogspot.com/2009/11/10-fakta-tentang-kpk.html